Hati, Ruh , Nafsu, Akal

Oleh: Amin fatah

MA’NA HATI,RUH, NAFSU dan AKAL. Ma’na hati bisa di bagi menjadi 2 yaitu: Pertama: Segumpal daging yangberbantuk pohon cemara yang treletak pada dada sebalah kiri. Di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini adalah sumber Ruh, daging ini dalam bentuknya yang seperti itu,,terdapat pula pada binatang dan orang orang yang sudah mati. Kedua : luthf robbani rudhoni, yang ,memiliki kaitan dengan daging ini. luthf robbani ini mengenal Alloh SWT. Ia mengetahui apa yang tidak di capai khayalan pikiran. Ia merupakan khakekat manusia. Inilah yang di ajak bicara. Terhadap ma’na ini di tunjukan dengan firman Alloh: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat peringatan bagi orang orang yang memiliki ihati. ( QS. Qof 50;37 ).

Kalau yang di maksud ayat ini adalah hati yang berbentuk pohon cemara, maka itu terdapat pada diri setiap orang. Jika kita telah mengetahui hal ini, maka perlukita ketahui bahwa kaitan luthf dengan Daging yang berbentu pohon cemara adalah hubungan yang tidak jelas, tidak dapat di jelaskan,melainkan bergantung pada kesaksian (Musyaahadah )dan penyingkspan ( Al ‘Iyaan ). Berarati dapat di sebutkan bahwa Ia seperti Raja sedangkan dagingnya ibarat negeri atau kerajaan, karena kalau hubunganya bersifat kebetulan, maka tidak sesuai dengan ma’na ayat : Sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya. ( QS Al Anfaal 8;24 ) RUH Ruh juga memilki dua ma’na yaitu:

Pertama : Ruh dalam dalam pengertian Biologi, yaitu benda halus yang bersumber dari darah hitam di dalam rongga hati yang berupa daging berbentuk pohon cemara. Benda halus ini tersebar memlalui pembuluh nadi dan pembuluh balik pada bagian seluruh tubuh. Benda halus ini seumpama lampu di dalam sebuah rumah yang menerangi seluruh sudut rumah. Itulah yang di maksudkan para Dokter dentan nama Ruh ( nyawa ) . Kedua : luthf Robbani, yang merupakan

khakekat hati. Ruh dan hati saling bergantian mengacu pada luthf tersebut dalam satu keteraturan. Hal ini di tunjukan dalam Firman Alloh: Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh, katakanlah,” Ruh itu termasuk urasan Tuhanku ” ( QS Al Isro’ 17; 85 ). NAFSU Nafsu juga memiliki ma’na yaitu:

Ma’na yang mencakup kekuatan marah, Syahwat dan sifat sifat tercla. Inilah yang di maksud sabda Nabi SAW: Sesungguhnya musuh yang paling utama adalah Nafsumu yang terletak di antara dua lambungmu. Dan inilah yang kita di perintahkan untuk memerangi dan mematahkanya. Yaitu salah satu ma’na Ruh, Hati dan juga Nafsu. Ruh dan Hati berkaitan denga luthf itu . Itu merupakan khakikat manusia yang membedakanya dari Binatang. Apabila luthf itu menjadi suci, dan Agung karena Dzikir kepada Alloh SWT,Maka iaakan mampu menghapus noda noda Syahwat dan sifat sifat tercela. Kemudian itu di namakan Jiwa yang tenang ( An Nafs Al Mutma’innah ). Inilah yang di maksud oleh Alloh: Wahai Jiwa yang tenang ( QS Al Fajr 89;27 ). Sebelum pada tingkatan ini, Nafsu memiliki dua tingkatan berdasarkan sifat sifatnya, diantaranya adalah nafsu Al Lamawwah, sebagai mana di sebutkan Alloh SWT: Dan aku bersumpah dengan

jiwa yang amat menyesali diri ( diri sendiri ) (QS Al Qiyamah 75;2 ) . Jenis Nafsu inilah yang  encela tindak kemaksiatan , tidak cenderung padanya, dan tidak pula senang terhadapnya. Sebelum sampai pada tingkatan ini, Nafsupun masih memiliki satu tingkatan, Yaitu,, yang selalu menyuruh (amarah) pada kejahatan, Sebagai mana firman Alloh SWT :

Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan ( QS Yusuf 12;53 ). Nafsu ini berada dalam keadaan memerintahkan kebaikan dan tidak pula mencela kejahatan.Nafsu Ammarah merupakan nafsu terendah. Nafsu tertinggi adalah nafsu mutmainnah. Di antara keduanya adalah nafsu lawwamah, yang tidak senag pada kejahatan sehingga tidak cenderung padanya, dan tidak pula dapat tenang dalam kebaikan, ya’ni Dzikir kapada Alloh SWT.  Akal bahkan memiliki beberapa ma’na antara lain: Pertama : Pengetahuan terhadap khakekat segala sesuatu. Kedua ; ‘Alim yang Ilmunya sebagai sifatnya. Ma’na ini merupakan luthf robbani yang telah di sebutkan diatas.Sehingga tidak mungkin di maksudkan akal pada ma,na pertama, sebagaimana Rosululloh SAW bersabda: Yang pertama Alloh SWTciptakan adalah akal . Kemudian di katakan padanya ” Majulah “. Maka akal maju, Lalu di katakan “mundurlah” . Maka akal mundur. Jadi, menjadi jelas bagi kita bahwa Hati,akal,Ruh dan Nafsu yang di maksud di dalam beberapa ayat ayat Al Qur’an dan Hadits adalah luthf Robbani. Wass wr wb Kang NardiTanggapan untuk Kang Nardi: Assalamu’alaikum wr. wb. Kang Nardi & Anggota Dzikrullah Yth, Sebenarnya uraian Hujjatul Islam itu sudah gamblang dan terinci, perkara roh, nafs dan akal. Namun kadang sipembaca menjadi bingung, jika tidak pernah diajak masuk kedalam alamnya, sehingga menjadi penghayalan dan harapan dipinggiran wilayah rohaninya…saya merasakan tidak pernah diajak kewilayah ilmu itu ketika saya belajar Ihya’ Ulumuddin dipesantren … kita hanya diajak ngalap berkah dari kitab itu bukan memasukinya padahal kitab itu berisi jalan praktisnya bukan untuk khataman seperti yang pernah saya alami … keterangan Alghazali adalah modal untuk berjalan menuju ke alam yang dimaksudkan ..bukan untuk diperdebatkan … karena keterangan Alghazali  bersifat “Laku praktis” agar kita tidak terjebak kepada alam-alam yang menakjubkan sekaligus mengingatkan para sufi agar tidak bermain diwilayah nafsunya … sebab lathaif-lathaif itu sangat menggoda keinginan untuk berlama-lama disana, padahal tujuan kita adalah makrifatullah dan menerima apapun keputusan Allah … Persoalan penting yang perlu ditangkap dari keterangan Alghazali adalah hati nurani bukan hati berupa daging “Hati”(Qalb) mempunyai makna membalik kembali,pergi maju mundur,berubah,naik turun….. atau bisa diartikan sifat yang labil (was-was ). Hati yang terlepas dari sifat labil disebut sifat muthmainnah (tenang)….jiwa inilah yang mampu menangkap ilham-ilham dari Allah” wanafsiw wama sawwaaha fa alhamaha fujuraha wataqwaaha” (demi jiwa..serta penyempurnaannya … maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan ( Asy syams 7-8) Untuk melepaskan dari ikatan syahwati kita harus mampu menembus alam- alam itu dengan menyadari bahwa “aku” adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan yang dihembuskan dari-Nya kedalam jasad …Aku bukan sifat (labil / qalb) akan tetapi aku adalah yang mempunyai alam-alam itu (sifat-sifat seperti ..lawwamah.. `ammarah..sufiyah dan muthmainnah) sifat-sifat itu disebut nafs (diri)….firman Allah innan nafsa la’ammaratun bis su’ (sesungguhnya diri (nafs) selalu mengajak kepada keburukan …Yusuf:53)dan diri yang selalu menyesali (wala uqsimu binnafsil lawwamah ..surat Al qiyamah:2) yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah (wahai jiwa /diri yang tenang …( Al fajr:27-28) Itulah karakter jiwa yang disebut di dalam Alqur’an … bukan berati jiwa itu berjumlah banyak ,akan tetapi jiwa mempunyai watak yang selalu berkecenderungan mengikuti sifat-sifat tadi …sebenarnya yang dimaksud itu adalah jiwa itu sendiri (diri) dan jiwa yang mempunyai sifat labil itu disebut qalb (hati) dan didalam jiwa itu mempuyai diri yang biasa menyebut dirinya “aku” dan mempuyai sifat mengetahui (bashirah) “aku inilah yang dikatakan merupakan kesadaran tertinggi yang mampu melihat Allah …ialah ruhnya jiwa yang dikatakan dalam Alqur’an merupakan urusan Tuhan…. Sekali lagi kita banyak terjebak dengan istilah-istilah yang rumit … mengenai jiwa dan hati …gampangnya saya perumpamakan begini … si fulan adalah anak yang manis ..rajin….simpatik ..dan baik , semua sebutan itu

sadalah sifat atau karakter si fulan .dan yang dimaksudkan manis itu menujukkan sifat sifulan …. Tidak terlalu penting saya kira untuk mengotak-atik karakter jiwa, … yang terpenting adalah bagaimana kita membersihkan jiwa, agar memiliki kecenderungan yang istiqamah yaitu selalu berbakti kepada Allah …dan dirihoi-Nya. Yaa Ayyatuhan nafsul muthmainnah ..irji’ii ila rabbiki radhiatan mardhiyyah ….(Al fajr:27-28). Itulah kesimpulan yang diterangkan oleh

Hujjatul Islam AlGhazaly ……… Dikarenakan metode Ihya’ kurang banyak difahami oleh kita, …kadang-kadang kita menjadi bingung harus memulai dari mana … pemberihan jiwa… melalui menjaga makanan … malalui shalat malam … melalui akhlaq yang baik … menjauhkan dunia … uzlah, … semuanya menjadi sia-sia jika tidak tahu apa yang semestinya di dahulukan, sebab kalau tidak, kita menjadi stress oleh

karena aturan syari’at yang begitu banyak ….terus terang methode yang di ajarkan Ihya’ itu sangat berat, mungkin karena awalnya tidak mengerti jalan lintasnya…. Untuk itu ihya ulumuddin merupakan katalisator bagi sang salik sebagai kitab panduan agar tidak tersesat …namun jika memahami Ihya tidak mempunyai ilmu yang cukup, maka kejumudan pemikiran akan terjadi seperti yang dituduhkan oleh sebagian ulama. Dengan demikian fahamilah kitab ihya’ sebelum melakukannya, karena ada inti yang mudah dari seluruh isi kitab tersebut… yaitu melatih jiwa dengan berdzikir kepada Allah dan hanya  dengan berdzikir kepada Allah jiwa akan menjadi tenang … dengan ketenangan jiw itulah ilham dan ilmu akan mengalir…. Anda tidak perlu bersusah payah untuk khusyu’ atau anda tidak perlu ngotot untuk beribadah …dan anda tidak perlu lagi menahan nafsu ammarah dan syahwat, sebab anda akan mendapatkan karunia merasakan itu semua tanpa tertekan … tiba-tiba hati berubah menjadi khusyu’ … sabar…dan tawakkal … Dan seluruh isi ihya’ akan tersandang sebagai baju tanpa lagi kita membuka kitab itu untuk mempraktekkannya. Semuanya itu akan muncul sebagaimana rasa marah yang tidak pernah kita undang … rasa benci … rasa cinta … semuanya datang tanpa kita inginkan sebelumnya… Selama ini kita menahan rasa maksyiat … rasa amarah … dan berupaya khusyu’ didalam setiap peribadatan serta berusaha berakhlaq mulia dihadapan manusia namun kita akan mengalami kejenuhan jika sampai kepada tahapan yang lebih tinggi karena larangan dan anjuran Allah itu sangat banyak, maka mustahil kita mampu melaksanakan itu semua kecuali jiwa kita mendapatkan pencerahan dari Yang Maha agung … Sebab sayapun pernah mengalami kesulitan didalam mempraktekkan Ihya’ waktu dibimbing langsung oleh Prof . Abdullah bin Nuh … juga kitab Al Hikam … dan bidayatul hidayah serta Minhajul `abiding (diterjemahkan oleh beliau) … semua menjelaskan jalan menuju ma’rifat, …sampai sekarang banyak kesulitan memahami dan mempraktekkan ilmu tersebut, kecuali hanya untuk diskusi dan seminar tasawuf ditelevisi dan hotelhotel , … biar tidak terkesan kumuh sebagaimana tuduhan orang selama ini …namanya juga tasawuf modern… Banyak orang hanya dibawa kealam intelektualnya, bukan kealam spiritualnya, sehingga mustahil ia akan sampai kepada Allah jika hanya sebatas gagasan di dalam fikiran. Untuk lebih  jelentrehnya ikuti saja artikel berikutnya … Ash shalatul mi’rajul mukminin …. Insya Allah. Wassalam, Abu Sangkan

KEAJAIBAN HATI Rosululloah bersabda: Sesungguhnya di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging, Jika ia baik maka baiklah tubuh ituseluruhnya, dan anggota anggota tubuh yang lain akan membuatnya baik, Ia adalah Hati,,. Dari hadits di atas bisa di pahami, bahwa dalam tubuh manusia yang paling pokok adalah hati. Ia adalah pemimpimpin yang di patuhi dalam dunia tubuh. Anggota tubuh lainya hanyalah bagikan rakyat yang saling dukung mendukung.

MA’NA HATI,RUH, NAFSU dan AKAL.

Ma’na hati bisa di bagi menjadi 2 yaitu: Pertama: Segumpal daging yang berbantuk pohon cemara yang treletak pada dada sebalah kiri. Di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini adalah sumber Ruh, daging ini dalam bentuknya yang seperti itu,,terdapat pula pada binatang dan orang orang yang sudah mati. Kedua : luthf robbani rudhoni, yang ,memiliki kaitan dengan daging ini. luthf robbani ini mengenal Alloh SWT. Ia mengetahui apa yang tidak di capai khayalan pikiran. Ia merupakan khakekat manusia. Inilah yang di ajak bicara. Terhadap ma’na ini di tunjukan dengan firman Alloh: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat peringatan bagi orang orang yang memiliki ihati. ( QS. Qof 50;37 ). Kalau yang di maksud ayat ini adalah hati yang berbentuk pohon cemara, maka itu terdapat pada diri setiap orang. Jika kita telah mengetahui hal ini, maka perlu kita ketahui bahwa kaitan luthf dengan Daging yang berbentu pohon cemara adalah hubungan yang tidak jelas, tidak dapat di jelaskan,melainkan bergantung pada kesaksian (Musyaahadah )dan penyingkspan ( Al ‘Iyaan ). Berarati dapat di sebutkan bahwa Ia seperti Raja sedangkan dagingnya ibarat negeri atau kerajaan, karena kalau hubunganya bersifat kebetulan, maka tidak sesuai dengan ma’na ayat : Sesungguhnya Alloh membatasi antara manusia dan hatinya. ( QS Al Anfaal 8;24 )

RUHRuh juga memilki dua ma’na yaitu:
Pertama : Ruh dalam dalam pengertian Biologi, yaitu benda halus yang bersumber dari darah hitam di dalam rongga hati yang berupa daging berbentuk pohon cemara. Benda halus ini tersebar memlalui pembuluh nadi dan pembuluh balik pada bagian seluruh tubuh. Benda halus ini seumpama lampu di dalam sebuah rumah yang menerangi seluruh sudut rumah. Itulah yang di maksudkan para Dokter dentan nama Ruh ( nyawa ) .Kedua : luthf Robbani, yang merupakan khakekat hati. Ruh dan hati saling bergantian mengacu pada luthf tersebut dalam satu keteraturan. Hal ini di tunjukan dalam Firman Alloh: Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh, katakanlah,” Ruh itu termasuk urasan Tuhanku ” ( QS Al Isro’ 17; 85 ).

NAFSU Nafsu juga memiliki ma’na yaitu:
Ma’na yang mencakup kekuatan marah, Syahwat dan sifat sifat tercla. Inilah yang di maksud sabda Nabi SAW: Sesungguhnya musuh yang paling utama adalah Nafsumu yang terletak di antara dua lambungmu. Dan inilah yang kita di perintahkan untuk memerangi dan mematahkanya. Yaitu salah satu ma’na Ruh, Hati dan juga Nafsu. Ruh dan Hati berkaitan denga luthf itu . Itu merupakan khakikat manusia yang membedakanya dari Binatang. Apabila luthf itu menjadi suci, dan Agung karena Dzikir kepada Alloh SWT,Maka ia akan mampu menghapus noda noda Syahwat dan sifat sifat tercela. Kemudian itu di namakan Jiwa yang tenang ( An Nafs Al Mutma’innah ). Inilah yang di maksud oleh Alloh: Wahai Jiwa yang tenang ( QS Al Fajr 89;27 ). Sebelum pada tingkatan ini, Nafsu memiliki dua tingkatan berdasarkan sifat sifatnya, diantaranya adalah nafsu Al Lamawwah, sebagai mana di sebutkan Alloh SWT: Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali diri ( diri sendiri ) (QS Al Qiyamah 75;2 ) . Jenis Nafsu inilah yang mencela tindak kemaksiatan , tidak cenderung padanya, dan tidak pula senang terhadapnya. Sebelum sampai pada tingkatan ini, Nafsupun masih memiliki satu tingkatan, Yaitu,, yang selalu menyuruh (amarah) pada kejahatan, Sebagai mana firman Alloh SWT : Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh pada kejahatan ( QS Yusuf 12;53 ). Nafsu ini berada dalam keadaan memerintahkan kebaikan dan tidak pula mencela kejahatan.Nafsu Ammarah merupakan nafsu terendah. Nafsu tertinggi adalah nafsu mutmainnah. Di antara keduanya adalah nafsu lawwamah, yang tidak senag pada kejahatan sehingga tidak cenderung padanya, dan tidak pula dapat tenang dalam kebaikan, ya’ni Dzikir kapada Alloh SWT.

AKALAkal bahkan memiliki beberapa ma’na antara lain: Pertama : Pengetahuan terhadap khakekat segala sesuatu.Kedua ; ‘Alim yang Ilmunya sebagai sifatnya. Ma’na ini merupakan luthf robbani yang telah di sebutkan diatas.Sehingga tidak mungkin di maksudkan akal pada ma,na pertama, sebagaimana Rosululloh SAW bersabda: Yang pertama Alloh SWTciptakan adalah akal . Kemudian di katakan padanya ” Majulah “. Maka akal maju, Lalu di katakan “mundurlah” . Maka akal mundur. Jadi, menjadi jelas bagi kita bahwa Hati,akal,Ruh dan Nafsu yang di maksud di dalam beberapa ayat ayat Al Qur’an dan Hadits adalah luthf Robbani.

Ibnu Sina (370-428 H/980-1037 M) Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (ruh) merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku8 dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.

Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu

  1. Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.
  2. Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.9
  3. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.10

Imam Ghazali (450-505 H/1058-1111 M)

Sebagaimana Ibn Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu:

  1. Jiwa nabati (al-nafs al-nabatiyah), yaitu kesempurnaan awal baqgi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
  2. Jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak).
  3. Jiwa insani (al-nafs al-insaniyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum.11

Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dealam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-‘aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.12

Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi.13 Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yanmg dinamakan manusia.

Ibn Tufail (Awal abad IV/580 H/ 1185 M)

Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh hewani yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.14

Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat”.15

Ibn Taimiyah ( 661-728 H/1263-1328 M)

Ibn Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain.16 Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang.

Ia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.17

Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:

  1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
  2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
  3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: … Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang … (QS. al-‘An’am, 54).
  4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, “Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir”.
  5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.18

Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: “Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa”.19

Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su’, jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.20

Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/1292-1350 M)

Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani ‘alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.21

Ibn Qayyim menjelaskan pendapat banyak orang bahwa manusia memiliki tiga jiwa, yaitu nafs mutmainnah, nafs lawwamah dan nafs amarah. Ada orang yang dikalahkan oleh nafs mutmainnah, dan ada yang dikalahkan oleh nafs ammarah.

Mereka berargumen dengan firman Allah:

Wahai jiwa yang tenang (nafs mutmainnah) …
(QS. Al-Fajr: 27).
Aku sungguh-sungguh bersumpah dengan hari kiamat dan aku benar-benar bersumpah dengan jiwa lawwamah
(QS. al-Qiyamah: 1-2)
Sesungguhnya jiwa itu benar-benar menyuruh kepada keburukan (nafs ammarah)
(QS. Yusuf: 53)

Ibn Qayyim menjelaskan bahwa sebenarnya jiwa manusia itu satu, tetapi memiliki tiga sifat dan dinamakan dengan sifat yang mendominasinya. Ada jiwa yang disebut mutmainnah (jiwa yang tenang) karena ketenangannya dalam beribadah, ber-mahabbah, ber-inabah, ber-tawakal, serta keridhaannya dan kedamaiannya kepada Allah. Ada jiwa yang bernama nafs lawwamah, karena tidak selalu berada pada satu keadaan dan ia selalu mencela; atau dengan kata lain selalu ragu-ragu, menerima dan mencela secara bergantian. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nafs lawwamah dinamakan demikian karena orangnya sering mencela. Sedangkan nafs ammarah adalah nafsu yang menyuruh kepada keburukan.22

Jadi, jiwa manusia merupakan satu jiwa yang terdiri dari ammarah, lawwamah dan mutmainnah yang menjadi tujuan kesempurnaan dan kebaikan manusia. Sehingga ada kemiripan antara pendapat Ibn Qayyim dengan pendapat Ibn Taimiyah tentang tiga sifat jiwa ini.

Ibn Qayyim juga menjelaskan dan membagi menjadi tiga kelompok kaum filosof yang terpengaruh oleh ide-ide Plato. Ia menyebutkan tiga jenis cinta pada masing-masing kelompok tersebut, yaitu:

  1. Jiwa langit yang luhur (nafs samawiyah ‘alawiyah) dan cintanya tertuju pada ilmu pengetahuan, perolehan keutamaan dan kesempurnaan yang memungkinkan bagi manusia, dan usaha menjauhi kehinaan.
  2. Jiwa buas yang penuh angkara murka (nafs sab’iyyah ghadabiyyah) dan cintanya tertuju pada pemaksaan, tirani, keangkuhan di bumi, kesombongan, dan kepemimpinan atas manusia dengan cara yang batil.
  3. Jiwa kebinatangan yang penuh syahwat (nafs hayawaniyyah shahwaniyyah) dan cintanya tertuju pada makanan, minuman dan seks.23

Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.24

Filosof Lain

  • Al-Nazzam berpendapat bahwa ruh adalah jism dan jiwa. Ia hidup dengan sendirinya. Ia masuk dan bercampur dengan badan sehingga badan tersebut menjadi bencana, mengekang dan mempersempit ruang lingkupnya. Keberadaannya dalam badan adalah untuk menghadapi kebinasaan badan dan menjadi pendorong bagi badan untuk memilih. Seandainya ruh telah lepas dari badan, maka semua aktivitas badan hanyalah bersifat eksidental dan terpaksa.
  • Al-Jubba’i berpendapat bahwa ruh adalah termasuk jism, dan ruh itu bukan kehidupan. Sebab kehidupan adalah a’rad (kejadian). Ia beranggapan bahwa ruh tidak bisa ditempati a’rad.
  • Abu al-Hudhail beranggapan bahwa jiwa adalah sebuh definisi yang berbeda dengan ruh dan ruhpun berbeda dengan kehidupan, karena menurutnya kehidupan adalah termasuk a’rad. Ia menambahkan, ketika kita tidur jiwa dan ruh kita kadang-kadang hilang, tetapi kehidupannya masih ada.
  • Sebagian mutakallimin lain meyakini bahwa ruh adalah definisi kelima selain panas, dingin, basah dan kering. Tetapi mereka berbeda ketika membahas tentang aktivitas ruh. Sebagian berpendapat aktivitas ruh bersifat alami, tetapi sebagian lain berpendapat bersifat ikhtiyari.25

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!